Judul saya isi laman

Rabu, 02 Juni 2010

Fenomena Peradilan Indonesia di Zaman Kerajaan dan Eksistensi Hukum Adat Oleh: Syahruddin

LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

Sejarah peradilan di Indonesia menjadi perhatian yang tersendiri dari sejarawan hukum, dimana negara Indonesia sebagai negara besar yang mempunyai keadaan geografis terpisah-pisah, dan jumlah penduduk yang cukup besar dan sistim kebudayaan yang begitu kompleks. Untuk itu perlu kita kembali menelaah jauh kebelakangan tentang keaadaan peradilan pada zaman kerajaan yaitu sebelum datangnya Kumpeni di tanah Jawa untuk menjajah Indonesia, dimana pada waktu itu Indonesia berbentuk kerajaan-kerajaan yang mana sistim hukum sedikitnya terpengaruh dengan agama hindu dan kemudian terpengaruh dengan budaya Islam.

Olehnya itu sebagai negara yang menamakan dirinya negara hukum, maka masalah peradilan dan pengadilan itu bagi Indonesia adalah penting, untuk itu pada fase sekarang ini dalam proses membumikan suprimasi hukum ditanah air ini yang masih corat marit, perlu penataan yang tidak mudah sekalipun hanya sekedar menengok kebelakangang sebagai acuan bahwa peradilan dalam suatu daerah sangat diperlukan, karena dengan adanya peradilan diberbagai tempat dan dipelosok di negara Indonesia ini sebagai persyaratan utama tegaknya suatu hukum.

Karena dimana ada hukum disitu ada hakim dan hakim atau pengadilan itu mempunyai peranan yang teramat penting di dalam masyarakat, sebab pengadilan, sebab pengadilan itu bukan saja untuk menyelesaikan persilisihan-persilisihan dan/atau menghukum yang melanggar peraturan-peraturan negara, melainkan juga sebagai tempat perlindungan seharusnya terhadap perkosaan hak-hak dasar dan kebebasan-kebebasan dasar yang diletakkan di dalam Undang-undang Dasar, bagi setiap warga negara.

I. LEMBARAN SEJARAH PERADILAN DI ZAMAN KERAJAAN DI JAWA

Dalam tingkatan permulaan manusia hidup bergaul, segala persilisihan yang timbul karena pertentangan kepentingan, diselesaikan dengan mengambil tindakan sendiri. Manusia bertindak sebagai hakim sendiri terhadap perlakuan-perlakuan yang diderita dari fihak sesamanya, yang dianggap merugikan kepentingannya atau yang menodai rasa kehormatannya. Didalam tingkatan kehidupan orang seperti dikatakan tadi, dimana orang bertindak sebagai hakim sendiri, maka kebenaran selalu berada difihak yang terkuat.

Setelah lingkungan pergaulan hidup semakin teratur dan manusia sudah membiasakan diri hidup didalam batas-batas tempat kediaman yang tertentu serta berpedoman kepada tata cara yang dianggap baik menurut keyakinan bersama, maka nafsu untuk bertindak menjadi hakim sendiri dipandangnya tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat. Tata cara pergaulan hidup memberikan petunjuk siapa yang berhak memberikan keputusan, apabila terjadi persilisihan atau bentrokan kepentingan di antara anggota masyarakat itu atau menjatuhkan hukuman terhadap barangsiapa yang melanggar adat-istiadat.

Kepala suku, kampung, desa atau apa juga namanya sesuatu kesatuan hukum, yang merupakan bingkaian didalam pergaulan hidup manusia di suatu daerah tertentu, berkewajiban dan berkuasa mendamaikan perselisihan dan menjatuhkan hukuman, pada umumnya didampingi oleh beberapa orang yang disegani, sebagai penasehat.

Penyelesaian perselisihan atau penghukuman pelanggaran itu di dalam tingkatan hidup yang masih primitif, tidak dapat dipisahkan dari dasar pandangan hidup yang diliputi kepercayaan , bahwa kelakuan seseorang membawa akibat baik atau buruk pada daya kesaktian masyarakat. Tiap-tiap peristiwa yang bertentangan dengan adat-istiadat, dapat merugikan daya sakti masyarakat itu dan yang harus dibetulkan dengan diambil keputusan, bukanlah semata-mata kepentingan perseorangan, melainkan daya kesaktian masyarakat yang telah dicemarkan karena perbuatan seseorang itu.

Jalannya perkembangan pergaulan hidup yang merupakan kesatuan-kesatuan hukum itu sudah tentu yang satu dengan yang lain tidak sama, berbeda-beda dari daerah ke daerah, masing membawa bakat dan kodratnya serta tergantung dari rupa-rupa faktor yang mempengaruhi dan memberikan corak kepadanya. Adat –istiadat di masing-masing lingkungan hidup itu sudah tentu menunjukkan perbedaan-perbedaan yang spesifik – oleh Vollenhoven buat seluruh Indonesia hukum adat disusun pisahkan dalam 19 lingkungan – akan tetapi diatas perbedaan-perbedaan didalam beberapa segi hukum yang terdapat di seluruh Indonesia, diantaranya:

  1. Rukun yang menentukan, bahwa masyarakat seluruhnya harus bertanggung jawab jikalau didawrahnya ada terjadi pelanggaran dan tidak diketahui siapa yang berdosa atau ia tidak dapat tertanggap.
  2. Di dalam hal-hal yang tertentu, apabila tidak cukup bukti untuk menetapkan kesalahan yang disangka melakukan sesuatu perbuatan terlarang, maka tersangka harus menjalani suatu perbuatan yang berat dan berbahaya dan dari hasil percobaan itu apakah terdakwah akan dinyatakan bersalah atau tidak.
  3. Pemisihan perkara sipil dan kriminal tidak ada.

Dalam perputaran roda sejarah dari abad ke abad Indonesia telah mengalami bangkit jatuhnya beberapa kerajaan di atas muka buminya.

Dari hal susunan dan bentuk pengadilan dari kerajaan-kerajaan di zaman purbakala, tidak banyak kita mengetahui. Akan tetapi bahwa juga di zaman itu di kerajaan-kerajaab yang pernah berdiri di Indonesia, telah ada pengadilan, bagaimanapun juga wujudnya tidak disangsikan, yang jelas dimana sudah terbentuk masyarakat, disitu ada hukum dan dimana ada hukum harus ada hakim.

Yang dapat diterima sebagai suatu kenyataan, ialah bahwa oleh karena dikerajaan-kerajaan di Indonesia itu yang berdaulat adalah raja yang berkuasa sendiri secara mutlak dan soal hidup dan mati dari rakyat ada pada tangannya, maka kekuasaan mengadili pun ada pada raja sendiri. Akan tetapi tidak dapat disangkal pula bahwa di Indonesia tidak semua perkara diadili oleh raja dan bahwa di tiap-tiap kesatuan hukum tiap-tiap kepala adat atau daerah menjadi hakim perdamaian.

Hasil-hasil penyelidikan para sarjana asing dalam pelbagai lapangan, seperti tentang seni bangunan-bangunan, kesusasteraan, kebudayaan, adat istiadat dan sebagainya diseluruh Indonesia, telah membuka pintu untuk meneropong kembali keadaan di tanah air kita pada zaman-zaman yang sudah jauh di belakang kita. Juga di lapangan tata – hukum ada beberapa keterangan yang sedikit banyak dapat dijadikan bahan penyelidikan, meskipun kesemuanya itu tidak cukup untuk mengadakan rekonstruksi tentang bentuk dan susunan pengadilan di zaman kuno itu.

Salah satu sumber mengatakan, bahwa menurut prasasti pada batu dinding dari candi-candi di zaman Airlangga, peradilan di zaman itu dipegang oleh raja sendiri. Hukuman badan tidak biasa dijatuhkan kecuali terhadap orang-orang perampok dan pencuri. Mereka selalu dijatuhi hukuman mati.

Dari tulisan orang Tionghoa, yang pernah mengunjungi Majapahit, dapat diketahui bahwa kebiasaan menjatuhkan hukuman denda atas segala pelanggaran, seperti di waktu sebelum itu menjadi kebiasaan di Majapahit, rupanya sesuai dengan yang biasa dilakukan di India, ketika itu sudah tidak lagi dijalankan. Segala pekanggaran sampai yang kecil-kecilpun, dijatuhi hukuman mati.

Dalam pada itu perlu dikemukakan bahwa di zaman kuno itu pengetahuan hukum ternyata sudah mencapai suatu taraf yang tidak dapat dikatakan rendah. Ini dapat dibuktikan dari isinya sebuah Jayapattra atau piagam keputusan pengadilan dari tahun Caka 849. di dalam Tijdshrift voor Ind. Taal-Land-en Volkenkunde jilid ke 32 ada terjemahan dari bunyinya Jayapattra itu ke dalam bahasa Belanda dari tangan Dr. J. Brandes. Secara ringkas dan diambil pokoknya, duduknya perkara yang disebut dalam Jayapattra itu:

Seorang perempuan bernama Campa, istri dari Pu Tabwel, mempunyai hutang pada seorang bernama Dharma. Perempuan itu kemudian meninggal dunia, sebelum hutangnya terbayar kembali. Oleh karena itu maka Pu Tabwel dituntut di depan hakim oleh Dharma supaya ia membayar hutang mendiang istrinya Campa itu.

Pada hari sidang yang ditentukan, si penggugat tidak datang menghadap dan oleh karena itu maka tunututannya digugurkan. Keputusan ini diucapkan oleh hakin di depan 4 orang saksi (bukan saksi-saksi dari pihak yang berselisih, melainkan saksi-saksi yang mendengarkan diucapkannya keputusan hakim). Dinyatakan pula, bahwa keputusan itu tidak dapat diganggu-gugat.

Yang menarik perhatian selanjutnya dari isi Jayapattra itu, ialah didalam keputusan itu diterangkan bahwa meskipun andai kata penggugat hadir pada waktu sidang, tuntutannya akan ditolak juga oleh hakim, oleh karena ternyata bahwa mendiang Campa itu ketika membuat perjanjian utang-piutang tersebut di atas, tidak dengan pengetahuan suaminya, sedangkan dari perkawinan Pu Tabwel dengan Campa tidak terdapat anak.

Penjelasan tersebut di atas memberikan kesan bahwa dizaman itu orang tidak merasa puas dengan penolakan suatu gugatan atas alasan formil belaka (dalam hal tidak hadirnya penggugat), sehingga hakim merasa perlu atau mungkin diharuskan buat memberikan keterangan yang lebih jauh.

Dari keterangan hakim itu selanjutnya dapat ditarik kesimpulan bahwa menurut hukum yang berlaku pada zaman itu, seseorang istri tidak mampu membuat suatu perjanjian harta (vermogensrech-telijke verbintenis) tanpa sepengetahuan suaminya. Kendati pun demikian, ternyata pula, bahwa perjanjian serupa itu tidak sama sekali hampa dari kekuatan dan mempunyai juga akibat hukum, yaitu jikalau dari perkawinan suami – istri yang bersangkutan terdapat keturunan. Dalam hal demikian, maka suami yang ditinggalkan harus menanggung akibat hukum dari perjanjian istrinya. Tidak diterangkan lebih jauh didalam penjelasan hakim itu, apakah suami yang ditinggalkan itu diharuskan menanggung akibat perjanjian itu hanya jikalau atau selama anaknya dari perkawinan itu masih belum akil balig (minderjarig).

Dari Jayapattra diatas tersebut terbukti bahwa di zaman kuno itu di Indonesia telah dilakukan peradilan yang baik dan bahwa orang hidup di bawah lingkungan hukum yang teratur.

Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah sifatnya pengadilan yang telah mengeluarkan Jayapattra tersebut diatas, bagaimana penempatan pengadilan itu didalam rangka sistim kehakiman di zaman itu?

Di mana Jayapattra itu dikatakan. Bahwa hakim yang mengadili perkara Dharma kontra Pu Tabwel itu adalah “semangat pinapel”, akan tetapi didalam tulisan Dr. J. Brandes itu tidak terdapat keterangan lebih lanjut, yang menegaskan kedudukan “semangat pinapen” itu. Bagaimanapun juga ternyata, di zaman kuno itu dilakukan juga peradilan oleh pejabat-pejabat tertentu.

Sebagaimana diatas telah disinggung sepintas lalu, adalah suatu kenyataan, bahwa di kerajaan-kerajaan di Indonesia, dimana kekuasaan secara mutlak ada ditangan raja, kekuasaan mengadili dan menghukum ada pada tangan raja sendiri. Akan tetapi dibalik itu adalah suatu kenyataan pula, bahwa di kesatuan-kesatuan hukum didalam wilayah kerajaan yang menjadi kepala kesatuan itu menjalankan juga peradilan asas dasar hukum adat. Sesungguhnya peradilan adat inilah yang merupakan peradilan yang asli.

Keadaan yang demikian itu tidak saja di pulau Jawa, akan tetapi juga ditempat lain bagian di Indonesia. Mr. FH. Der Kinderen di dalam bukunya ‘algemene verordeningen tot regeling van het rechtswezen in het Gouvernement Sumatra’s Westkust, toegelicht uit officieele bescheiden” diantaranya menulis, bahwa pada asalnya peradilan sepenuhnya ada ditangan kepal-kepala suku. Penghulu kampung dan penghulu suku menyelesaikan aegala perkara secara kekeluargaan. Perselisihan di antara para anggota sekeluarga yang berada didalam kampung, oleh kepala kampung diselesaikan secara damai.

Keterangan-keterangan yang nampak secara positif tentang keadaan peradilan di Jawa, buat pertama kali di dapat dari tulisan-tulisan yang berisi laporan dari pegawai-pegawai Kumpeni, setelah Kumpeni melebarkan sayapnya dan mencari hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Jawa, dimana Kumpeni mengirim utusan-utusannya, terutama di Mataram. Laporan-laporan itu dengan sendirinya menggambarkan keadaan peradilan pada zaman di sekitar abad ke 17, dan oleh karenanya tidak dapat dijadikan ukuran buat tata-pengadilan di zaman-zaman sebelum itu, akan tetapi menurut pendapat-pendapat ahli-ahli sejarah, gambaran tata-pengadilan di Mataram pada waktu itu yang sejak Sultan Agung telah mengalami pengaruh hukum Islam, yang pada dasarnya masih banyak mempunyai corak tata-pengadilan dari abad-abad sebelumnya.

Dari penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan oleh ahli-ahli bangsa Belanda dalam abad-abad kemudian, maka nampaklah adanya suatu garis pemisahan di antara raja dan peradilan yang dilakukan atas nama raja oleh pejabat-pejabat tertentu.

II. PERKEMBANGAN HUKUM ADAT DALAM KEHIDUPAN PERADILAN INDONESIA

Perkembangan Hukum Indonesia yang sudah ada dan sudah jauh lebih tertib yang disusun berdasar nilai-nilai sosio filosofik, sosio-politik dan sosio-kultural bangsa Indonesia sendiri. Hal ini bisa kita lihat adanya beberapa kitab hukum kuno yang telah ada dan dibuat pada zaman itu. Kira-kira tahun 1000 M, pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa memerintahkan membentuk kitab undang-undang yang disebut “Civacasana”, pada zaman Raja Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit, Patihnya yang bernama Gajah Mada memberi judul pada suatu kitab tentang hukum yang disusun pada saat itu dengan nama “Gajah Mada” pada tahun 1413-1430 juga patih Kerajaan Majapahit bernama Kanaka memberikan perintah untuk menyusun kitab hukum “Adigama”, di pulau Bali pada tahun 1350 juga telah diketemukan adanya sebuah kitab hukum dengan sebutan “Kutaranamava”.

Eksistensi pranata sosial yang mengatur tata laku dan tertib masyarakat Indonesia itu tercermin dalam ketentuan Hukum Adat, demikian pula ketentuan yang mengatur tentang hukum pidana, tercantum dalam hukum Pidana Adat. Keberadaannya sebagai rialitas sosial adalah sebagai hukum yang hidup (the living law), diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus menerus, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib (hukum pidana adat), dipandang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat, karena dianggap telah mengganggu keseimbangan kosmis, oleh sebab itu, bagi si pelanggar delik diberikan reaksi adat, koreksi adat atau sanksi adat.

Kehadiran kolonial Belanda di Indonesia, dengan asas konkordansi telah memberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie (WvSNI) suatu kitab undang-undang tentang hukum pidana, yang hampir sama persis dengan Wetboek van Strafrecht Belanda. Jiwa dan sistem nilai yang mendasari KUHP peniggalan Belanda tersebut sama sekali berbeda dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Menurut Rene David, KUHP peninggalan zaman Belanda berasal dari keluarga/sistem hukum Kontinental (“Civil Law Syetem”), atau disebut dengan istilah “the Romano-Germanic Family”. Menurut Rene David “Civil law System” atau “the Romano-Germanic Family” ini banyak dipengaruhi oleh sistim nilai atau ajaran yang sangat menonjolkan paham “individualism, lebaralism, dan individual right”. Ajaran atau paham liberal individualism, adalah sistem nilai dan paham yang sangat bertolak belakang dengan paham atau sistem nilai yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang bersifat komunal, sosial religius, dan mementingkan harmoni. Dalam banyak hal realitas ini, menimbulkan adanya kesenjangan (diskrepansi) sistem nilai, yang bermuara pada munculnya ketidak-adilan dan penolakan terhadap batas tertentu hukum merupakan refleksi sistem nilai dan cerminan perilaku suatu bangsa, seperti pandangan JH. Van Kan bahwa hukum merupakan weergave (cermin) dari suatu masyarakat. Secara lebih tegas Hermin Koeswadji menyatakan bahwa hukum itu hidup dan diciptakan oleh masyarakat, karena hukum merupakan kehidupan dari bangsa itu sendiri.

Sebagai negara jajahan, Indonesia tidak berdaya menolak meskipun tidak sesuai dengan sistem nilai dan sosio filosofik masyarakat Indonesia. Betapapun masyarakat melakukan penolakan, KUHP tersebut tetap dipakai sebagai kitab undang-undang pidana, bahkan setelah Indonesia merdeka, KUHP tetap berlaku hingga sekarang.

Dominasi KUHP sebagai representasi Hukum Barat yang dibawa Belanda, seiring dengan lamanya waktu penjajahan Belanda terhadap Indonesia, telah terjadi transformasi sistem hukum dan nilai dan nilai sosial masyarakat, yang secara langsung telah meminggirkan keberadaan hukum adat kalau tidak boleh dikatakan mematikan. Dominasi hukum barat menguasai pengaturan kehidupan masyarakat, baik dibidang publik maupun privat. Secara mutatis mutandis pemberlakuan Hukum Barat tersebut telah terjadi pemaksaan sistem nilai Barat terhadap sistem nilai masyarakat Indonesia yang antara keduanya merupakan sistem nilai yang berlainan.

Hukum pidana Adat sebagai hukum yang hidup (living law), adalah realitas yang tidak dapat dihilangkan atau dimatikan, Hukum Pidana Adat menyangkut cita sosial dan keadilan masyarakat, ia menjadi darah dan daging dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu meskipun KUHP, tetap mendominasi berlakunya hukum pidana di Indonesia, tuntutan masyarakat terhadap berlakunya hukum pidana di Indonesia, tuntutan masyarakat terhadap berlakunya hukum yang sesuai dengan sistem nilai, cita sosial dan keadilan masyarakat senantiasa tetap dapat dihindarkan. Untuk menghindari adanya diskrepansi sistem nilai dan memenuhi rasa keadilan masyarakat diberbagai bidang, terutama dalam bidang perdata, khususnya menyangkut hukum waris ketentuan hukm adat sudah diberlakukan. Dalam bidang hukum lain termasuk hukum pidana hal serupa juga terjadi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam uraian terdahulu telah dikemukakan oleh JH. Van Kan bahwa hukum merupakan weergrave (cermin) dari masyarakat. Ini berarti, eksistensi lembaga Pengadilan dan hukum pidana Indonesia harus dapat mencerminkan pandangan atau konsep nilai dasar (grundnorm) dan kenyataan socio - politik, socio – ekonomi dan socio-cultural masyarakat Indonesia. Ia harus dapat mencerminkan perilaku dan konsep-konsep nilai yang dihayati dan hidup dalam masyarakat Indonesia. Bertumpu pada pandangan bahwa hukum adalah weergrave suatu bangsa, sudah seharusnya eksistensi hukum pidana adat diakui dan menjadi bagian praktek kehidupan hukum nasional.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

- Pujiyono, SH. M.Hum, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, Pen. Mandar Maju, Bandung 2007.

- Bambang Waluyo, SH. Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta 2002.

- Todung Mulya Lubis, Catatan Hukum – Mengapa Saya Mencintai Negeri Ini?, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2007.

- Mr. R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari abad ke abad, Penerbit Pradnya Paramita Jakarta 1977.

- Beberapa jurnal dari Internet.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar